Senin, 09 April 2012

Kenaikan Bahan Bakar Minyak

            Oleh: Fanny Gunawan. S.IP.

Rencana pemerintah untuk menaikan harga Bahan bakar Minyak atau yang sering dikenal dengan bbm Bersubsidi (jenis : premium) sebesar Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter Per 1 April 2012 gagal sudah setelah kalah voting pada rapat sidang paripurna DPR, dimana banyak pihak menganggap telah menghasilkan keputusan rancu pada isi Pasal 7 Ayat 6a UU APBN 2012 yang bertentangan dengan ayat sebelumnya (Pasal 7 Ayat 6). Sidang paripurna menyetujui adanya penambahan Ayat 6a yang menyatakan bahwa “pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah di Indonesia (ICP) naik atau turun hingga lebih dari 15 persen dalam waktu enam bulan”. Keputusan tersebut bertentang dengan Pasal 7 Ayat 6 yang isinya menyebutkan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Yang di respon dengan mengadakan sidang kabinet di kediaman Presiden, Jakarta Pusat, malam ini, Sabtu 31 Maret 2012. Meski banyak kalangan menganggap apabila ketentuan ini hampir sama, malah dengan adanya penambahan undang-undang ini pemerintah dapat menaikan BBM apabila harga minya dunia telah melewati batas ketentuan subsidi. Diteruskan goncang-ganjing tidak konsistennya politik PKS yang setengah-setengah menjadi paratai koalisi turut meramaikan perpolitikan Indonesia.
Analisis politik yang penulis gambarkan ialah politisasi isu ini mampu menaikan bargaining posisi partai pada pemilu kedepan di tambah aksi anarkis demostrasi di beberapa daerah yang mewarnai wacana kenaikan harga BBM dinilai sangat berbahaya terhadap legitimasi rakyat terhadap pemerintahan SBY-Budioeno, dimana kekhawatiran terbesar dari isu kenaikan ini ialah Inflasi 7 % dan kenaikan terhadap harga barang primer dan sekunder dimasyarakat yang di perkirakan cepat atau lambat merangkak naik.
Kampanye dan klarifikasi pihak pro dan kontra pun telah banyak beredar baik melalui Blackberry messenger, Facebook, dan media-media lain nya seputar wacana kenaikan BBM ini guna mempersuasi dan mencoba memberikan wawasan kepada masyarakat seputar pro dan kontra kenaikan BBM.
Permasalahan mendasarnya ialah 1500 rupiah yang telah begitu menghabiskan energi bangsa ini untuk terus maju ?! bukan bermaksud menyepelekan hal ini dan bukan bermaksud untuk pro pemerintah. Tapi perlu kita mengerti jika sumber APBN berasal dari pajak dan oleh hutang baik dalam (SUN, ORI) maupun luar negeri (terlihat bagaimana kontribusi utang dalam APBN terus meningkat. Pada 2010 hanya Rp 1,9 trilyun, tapi pada 2011 naik menjadi Rp 3,7 trilyun) untuk terus membiayai bangsa ini terus berjalan, sungguh ironis bagi sebuah bangsa yang sempat mencita-cita kan prinsip berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) yang luntur tertelan zaman dan kelompok-kelompok perusak.
Penggunaan Premiun (bahan bakar minyak yang di subsidi) dinilai telah salah sasaran, baik pihak pro dan kontra yang masing-masing memiliki argumennya dalam pembenaran hal ini.
Satu hal yang perlu bangsa ini sadari dan fahami ialah bahwa faktanya ialah,  Indonesia adalah negara kaya dengan keadaan yang termiskinkan. 58 tahun kita merdeka dan 14 tahun reformasi namun tetap saja elit politik kita hanya berkutat pada tatar lagu lama yang berirama kepentingan kelompok dan korupsi hingga tidak jemu-jemu hanya keprihatinan dan kesesalan yang kita lihat di negeri tercinta.
           
Generasi Indonesia
Tanpa mencoba skeptis akan perubahan, namun hal ini sebagai keadaan yang penulis anggap ironis terlebih dari 200 juta jiwa lebih penduduk indonesia sebagai mana sumber BPS ternyata masih belum menghasilkan individu-individu perubah dan pembangun bangsa. Dimanakah reformis-reformis 1998 yag menggulingkan Soeharto? teknokrat Indonesia? ataukah bangsa ini telah menerkam mereka untuk berkarya dan berkontribusi terhadap bangsa yang kita cintai ?! ataukah negara Indonesia hanya sebuah bangsa yang penuh dengan para elit politik dan koruptor-koruptor serakah ?!
Permasalahan BBM atau kenaikan premium. Meski bukan berlatar belakang dari keilmuan teknik transportasi namun penulis mencoba memberikan sedikit solusi yang dikemukan ialah harapan akan moda transportasi murah dan pro rakyat tanpa terjejal oleh fasilitas dan layanan kemacetan jalan raya, dengan demikian diharapkan terlahir produktifitas yang baik di tengah masyarakat Indonesia yang akan berimbas kepada ekonomi terutama dan peningkatan sektor layanan jalan umum termasuk perbaikan (maintenance), pembanguanan transporasi kereta listrik, peningkatan pelayanan bus, pembangunan energi terbarukan seperti pemanfaatan tenaga air, biomassa, surya dan panas bumi.
Solusi diatas tidak akan tercipta dengan sendiri nya, namun perlu di dana secara signifikan dan logika pengurangan subsidi BBM kemudian di teruskan kepada pembangunan sektor lain cukup rasional penulis nilai.  Atau subsisdi tetap bertahan dan bangsa ini tereksploitasi tanahnya oleh perusahan pemilik modal yang kebanyakan perusahaan asing, karna ketidakmampuan akan modal dalam membangun tanah nya.  Menaikan BBM (premiun) sendiri pun merupakan pilihan pahit, namu tidak apalah seperti kata pepatah “bersakit-sakit dahulu, berenang-renang kemudian”. Isu kenaikan BBM ini terlalu terpolitisasi oleh partai-partai oposisi dan yg koalisi-koalisian bagi pemilu 2014 berharap mendapatkan kenaikan simpatisan dari isu ini karena bagi masyarakat bawah semua dinilai baik asalankan “murah” yang menghasilkan produktifitas murahan dan manja-manjaan.
Dan terakhir mari kita bangun terus persatuan untuk mengawal bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan mampu mensejahterakan masyarakatnya kedepan.
Penulis hanya seorang alumni perguruan tinggi negeri, yang mencoba menyuarakan aspirasi pada kemajuan bangsa, tanpa berfikir bahwa perubahan akan muncul oleh demonstrasi sebagaimana refleksi reformasi yang nyata-nyata belum bisa memberikan perubahan secara signifikan bagi bangsa.***             

Biaya Sekolah Melangit, Orangtua Menjerit

Oleh: Bakhrudin Latief*

Periode April hingga Juli merupakan masa-masa yang mencemaskan bagi para siswa. Apa pasal? Pada rentang waktu ini, sekolah mulai menyelenggarakan ujian –baik ujian sekolah maupun ujian nasional- serta penerimaan siswa baru. Setelah stres saat menghadapi ujian, berikutnya siswa dibuat bingung untuk memilih akan bersekolah dimana. Tentunya mayoritas ingin melanjutkan di sekolah negeri sekaligus favorit. Sederet “ujian” dan “persaingan” telah menanti, yang membuat para calon siswa harap-harap cemas khawatir tidak diterima di sekolah pilihannya. Namun dibalik itu semua, ternyata ada sosok yang lebih kebingungan saat berhadapan dengan momen peerimaan siswa baru. Merekalah para orangtua siswa. Ya, karena sesungguhnya mereka-lah yang akan menanggung beban berat memikirkan biaya masuk sekolah anak-anaknya, yang –kini- semakin melangit.
Kita semua mafhum bahwa sekolah hari ini mahal. Kampanye pemerintah akan pendidikan gratis sebagai amanat Pasal 31 UUD 1945 belum sepenuhnya terealisasi. Ironisnya, yang kita saksikan dewasa ini Pemerintah seolah ingin melimpahkan urusan pendidikan pada pihak lain. Ini terbukti dengan adanya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). RUU ini diharapkan menjadi jalan keluar bagi keterlibatan pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah MBS﴿. Komite Sekolah, sebagai aktor MBS, tak ubahnya seperti stempel yang siap men-sahkan setiap kebijakan Kepala Sekolah, termasuk menarik pungutan kepada para calon siswa.
Pungutan sudah dilakukan sejak awal masuk sekolah. Mulai dari penarikan Dana Sumbangan Pendidikan DSP﴿, praktik jual beli kursi, juga biaya lain seperti pembelian seragam, alat tulis, sepatu, dan buku pelajaran yang kesemuanya itu harganya lebih mahal dibanding harga pasaran. Iuran yang tidak seharusnya ada itu diputuskan tanpa persetujuan orangtua. Alhasil, tidak ada negosiasi terkait besaran dana yang harus disumbangkan, sehingga orangtua hanya bisa menelan bulat-bulat putusan tersebut. Selain itu, transparansi peruntukkan DSP pun tidak jelas. Maka tak jarang kita lihat sekolah yang “merusak” sebagian ruangan kelasnya agar dapat berdalih akan mengalokasikan dana DSP untuk renovasi.
Berdasarkan data, diperoleh rata-rata besaran pungutan antara lain di tingkat SD Rp.350.000-Rp.500.000, SMP Rp.750.000-Rp.1 juta, dan SMA Rp 2,5 juta-Rp.5 juta PR, 11 Juli 2011﴿. Belum habis sampai disitu. Setelah sang anak diterima di sekolah, mereka harus melewati Masa Orientasi Siswa (MOS). Untuk keperluan MOS, orangtua harus merogoh koceknya tak kurang dari Rp. 200.000-Rp. 300.000. Angka yang cukup besar, terutama bagi kelompok yang kurang mampu.
Tingginya tarif sekolah seakan menegaskan bahwa pemerintah telah meliberalisasi sekolah publik menjadi sekolah mahal dan elitis. Pendidikan nasional seperti mengekalkan kelas sosial. Si miskin jangan harap duduk di bangku sekolah favorit. Sedangkan si kaya, boleh sekolah dimana saja, karena punya banyak duit.
Jika orangtua masih dibebani biaya sekolah yang tinggi, bukan tidak mungin kemiskinan struktural akan terus terjadi. Siswa dari keluarga miskin, -karena tak sanggup bersekolah tinggi- terpaksa akan meneruskan “warisan” kemiskinan dari orangtuanya. Hakikat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan taraf hidup manusia, rasanya masih hanya sebatas wacana.
Pemerintah hendaknya menindak tegas sekolah-sekolah yang masih memberlakukan pungutan-pungutan. Pemerintah juga harus menambah anggaran pendidikan atau menjamin anggaran yang ada sampai di tangan yang tepat. Pelbagai pungutan di sekolah disinyalir menjadi cikal bakal penyakit korupsi. Siswa yang telah lulus sekolah pada gilirannya nanti akan melakukan “pembalasan” di tempat ia bekerja. Tentunya hal ini tidak kita harapkan. Sekolah sebagai sarana pendidikan karakter harusnya menanamkan nilai-nilai kejujuran, agar nantinya dihasilkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggungjawab.

*Penulis ialah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung / PKPS 9