Jumat, 20 Januari 2012

Nasib Pengelolaan Keuangan Pendidikan Pasca Tidak Berlakunya UU BHP

Oleh: Geni Gurnisa

            Bagi kita kalangan pelajar pasca sekolah formal dasar (SMA), uang kuliah menjadi salah satu hal yang sensitif dibicarakan. Bagaimana tidak, usia yang mulai memasuki remaja tingkat akhir ini dituntut dewasa pemikirannya untuk mulai mandiri mengelola keuangan pribadi, apalagi yang kuliah di luar kampung halamannya. Sejatinya pelajar atau mahasiswa adalah seorang yang bertugas untuk menambah pengetahuan, melatih skill, dan mengembangkan jiwa kepemimpinan baik lahiriah maupun ruhiyahnya. Generasi usia 20-25 adalah tulang punggung bangsa (baca: iron stock) yang akan perlahan menggantikan generasi pemimpin saat ini, dan sangat ironis ketika harus dipersulit dengan masalah keuangan. Menuntut dan mengembangkan ilmu di Perguruan Tinggi kini seakan milik masyarakat kalangan menengah ke atas. Jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju (Kompas, 28/3). Gejolak keuangan mahasiswa kini diwarnai dengan berubahnya status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang secara otomatis mengubah tata kelola keuangannya.
Persoalan panjang status PTN berawal dari PTN-PTN  di Indonesia yang merasa terbatas geraknya ketika masih berstatus UPT (Unit Pelaksana Teknis). UPT mempunyai tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang dari organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik (Kepmenpan No. 62/KEP/M.PAN/7/2003).  Dari ketentuan tersebut jelas PTN sebagai UPT harus tunduk pada semua kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi induknya yaitu Ditjen Dikti.
Dalam peraturan Kepmenpan tersebut, PTN yang berstatus UPT  dari Ditjen Dikti tidak dapat berkembang menjadi world class university, karena untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan kemandirian, otonomi, dan dana yang besar. Jika PTN terus berstatus UPT, model kerjanya terkungkung dengan birokrasi, dari segi pengelolaan keuangan pun tidak fleksibel. Contohnya saja uang pendaftaran seleksi masuk calon mahasiswa PTN wajib masuk ke kas negara karena bagian dari PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Hal ini masih kontroversi mengingat pencairan dana yang biasanya memakan waktu lama karena proses birokrasi yang rumit.
            Lalu tonggak sejarah otonomi PTN dilanjutkan dengan dikeluarkannya PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan PTN menjadi Badan Hukum. Hal tersebut ditandai dengan ditetapkannya status BHMN pada empat PTN yang dipandang siap, yaitu UI, IPB, ITB, dan UGM, lalu menyusul USU, UPI, dan UNAIR. Melalui model BHMN, direncanakan bisa menjadi langkah reformasi pendidikan secara sistematis dimulai dengan mengubah pola manajemen menjadi sentralistis. Namun hal tersebut masih menimbulkan persoalan besar dalam hal keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia potensial, dan legalitas status BHMN sendiri.
            Untuk menyiasati kewenangan otonomi ini, beberapa PTN membuka jalur khusus bagi mahasiswa yang secara finansial dianggapi mampu. Hal ini mengundang anggapan negatif dari masyarakat, status BHMN  dianggap sebagai langkah komersialisasi dan privatisasi PTN. Dalam perkembangannya dengan keuangan, belum ada pemisahan aset yang jelas antara milik negara dengan milik perguruan tinggi. Hal ini bisa terlihat dari anggaran sisa yang dikelola oleh PTN harus dikembalikan kepada negara, padahal seharusnya bisa dimanfaatkan oleh yang lainnya.
Setelah itu sampailah pada titik dimana DPR mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008,  meskipun mendapat protes dari berbagai kalangan. Dominasi isu yang muncul adalah bahwa negara dianggap melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
            Namun sayangnya UU BHP ini tidak bertahan lama, Mahkamah Konstitusi meminta pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau BHP. Untuk itu pemerintah melakukan penggantian atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/ 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dengan PP No. 66 Tahun 2010. PP ini resmi berlaku sejak ditetapkan, yakni 28 September 2010 lalu. Dalam PP ini ada beberapa hal pokok di antaranya yakni Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tercantum dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN), pengelolaan keuangannya harus tunduk pada UU Keuangan. Keuangan BHMN masuk dalam APBN, maka penggunaannya hanya ada dua pilihan, yakni melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PKBLU). Sebagai informasi, dengan pengelolaan keuangan menggunakan pendekatan PNPB, universitas harus meminta segala sesuatunya dengan anggaran yang disusun di awal meskipun hanya untuk kegiatan kemahasiswaan yang selama ini menghidupi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di universitas-universitas. Bila pengelolaan keuangan PTN mengacu pada konsep BLU (Badan Layanan Umum), maka tidak seluruh pendapatan PTN harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh PTN bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup diaudit. Dengan konsep BLU, pendapatan yang diterima dapat digunakan secara langsung. Kemudian, saldo kas akhir tidak lagi disetor ke kas Negara dan diperlakukan sebagai saldo kas awal untuk digunakan membiayai kegiatan di awal tahun.
Setelah dikaji, PT BHMN sepakat menggunakan yang paling dekat dengan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sementara, dalam PP baru ini ada juga kewajiban bagi PTN dalam proses rekrutmen mahasiswa baru yaitu setiap perguruan tinggi minimal harus menerima 20% mahasiswa yang berkebatasan ekonomi, namun memiliki otak cemerlang.
Dalam persiapannya menerapkan PK-BLU, 7 Perguruan Tinggi Eks Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni UGM, UI, ITB, IPB, USU, UPI, Univ Airlangga berdiskusi dalam workshop ‘Persiapan menuju Pengelolaan Badan Layanan Umum UGM’ di ruang auditorium BRI FEB UGM, Kamis (17/11). Dalam diskusi yang dipandu oleh Direktur Keuangan UGM Drs. Haryono, M.Com, Ak., pembicara dari perwakilan dari PPK-BLU Kemenetrian Keuangan, Catur Ariyanto Widodo, SE., mengatakan perguruan tinggi BLU dalam pengelolaannnya tidak diperkenankan mengutamakan mencari keuntungan karena bukan sebagai korporasi. 
Kini dalam perkembangannya menerapkan , berdasarkan data yang dilansir BPK, saat ini jumlah BLU Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berada di bawah Kemdiknas baru sebanyak 20 PTN. Sementara 62 PTN lainnya masih non-BLU. Berdasarkan pemeriksaan laporan keuangan Kemdiknas tahun 2010, BPK menemukan beberapa hal terkait dengan pungutan pada BLU. Diantaranya, PNBP Kementerian Lembaga (KL) yang tidak disetorkan ke kas negara, tidak dilaporkan dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Negara (APBN) sebesar lebih dari Rp 25 miliar. "Berdasarkan pasal 14 dan 15 dalam PP No. 23 tahun 2005, BLU diperbolehkan memperoleh pendapatan dari jasa layanan kepada masyarakat. Seperti diberitakan media, sekitar Rp 7,9 triliun atau 30 persen biaya operasional perguruan tinggi ditanggung oleh masyarakat, seharusnya pendapatan itu dilaporkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)," ujar Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Rizal Djalilkepada para wartawan, Rabu (13/7/2011) siang, di Kantor BPK, Jakarta. Dengan demikian BPK ingin mengingatkan, uang yang berasal dari masyarakat itu seharusnya disetorkan sebagai PNBP karena hal tersebut sejatinya amanah dari rakyat untuk digunakan secara tepat guna dan transparan.
Di tengah carut marutnya pengelolaan keuangan tempat kita menuntut ilmu (PT), harapan ke depan adalah agar para wali amanah mahasiswa (rektor dan jajarannya) dalam melaksanakan persiapan PK-BLU dapat melakukannya sebaik mungkin agar amanat Undang-undang yang mengamanatkan kecerdasan bangsa tidak ternodai dengan motif pemakmuran pribadi, serta tidak mengurangi atau mengambil hak rakyat miskin untuk menuntut ilmu setinggi langit.

Sumber:
Sejarah UPT-BHP USU
http://stmikbpn.ac.id/web/2011/03/28/jumlah-mahasiswa-di-indonesia-masih-sekitar-48-juta-orang/
http:// kopertis.go.id
Portal Akademik UGM
Kompas/ Suhartono | I Made Asdhiana | Kamis, 26 Agustus 2010
Kompas/Indra Akuntono | Inggried | Rabu, 13 Juli 2011 | 16:54 WIB
Media Indonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar