Oleh: Geni Gurnisa
Bagi
kita kalangan pelajar pasca sekolah formal dasar (SMA), uang kuliah menjadi
salah satu hal yang sensitif dibicarakan. Bagaimana tidak, usia yang mulai
memasuki remaja tingkat akhir ini dituntut dewasa pemikirannya untuk mulai
mandiri mengelola keuangan pribadi, apalagi yang kuliah di luar kampung
halamannya. Sejatinya pelajar atau mahasiswa adalah seorang yang bertugas untuk
menambah pengetahuan, melatih skill,
dan mengembangkan jiwa kepemimpinan baik lahiriah maupun ruhiyahnya. Generasi
usia 20-25 adalah tulang punggung bangsa (baca: iron stock) yang akan
perlahan menggantikan generasi pemimpin saat ini, dan sangat ironis ketika
harus dipersulit dengan masalah keuangan. Menuntut dan mengembangkan ilmu di
Perguruan Tinggi kini seakan milik masyarakat kalangan menengah ke atas. Jumlah
mahasiswa Indonesia saat ini baru 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap
populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru
18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka
partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan
negara-negara maju (Kompas, 28/3). Gejolak keuangan mahasiswa kini diwarnai
dengan berubahnya status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang secara otomatis
mengubah tata kelola keuangannya.
Persoalan panjang status PTN berawal dari
PTN-PTN di Indonesia yang merasa
terbatas geraknya ketika masih berstatus UPT (Unit Pelaksana Teknis). UPT mempunyai
tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis
penunjang dari organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat
pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan
kebijakan publik (Kepmenpan No. 62/KEP/M.PAN/7/2003). Dari ketentuan tersebut jelas PTN sebagai UPT harus tunduk
pada semua kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi induknya yaitu Ditjen
Dikti.
Dalam peraturan Kepmenpan tersebut, PTN yang
berstatus UPT dari Ditjen Dikti tidak
dapat berkembang menjadi world class university, karena untuk dapat mencapai
hal tersebut diperlukan kemandirian, otonomi, dan dana yang besar. Jika PTN
terus berstatus UPT, model kerjanya terkungkung dengan birokrasi, dari segi
pengelolaan keuangan pun tidak fleksibel. Contohnya saja uang pendaftaran
seleksi masuk calon mahasiswa PTN wajib masuk ke kas negara karena bagian dari
PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Hal ini masih kontroversi mengingat
pencairan dana yang biasanya memakan waktu lama karena proses birokrasi yang
rumit.
Lalu
tonggak sejarah otonomi PTN dilanjutkan dengan dikeluarkannya PP No. 61 tahun
1999 tentang Penetapan PTN menjadi Badan Hukum. Hal tersebut ditandai dengan
ditetapkannya status BHMN pada empat PTN yang dipandang siap, yaitu UI, IPB,
ITB, dan UGM, lalu menyusul USU, UPI, dan UNAIR. Melalui model BHMN,
direncanakan bisa menjadi langkah reformasi pendidikan secara sistematis
dimulai dengan mengubah pola manajemen menjadi sentralistis. Namun hal tersebut
masih menimbulkan persoalan besar dalam hal keterbatasan sumber dana, sumber
daya manusia potensial, dan legalitas status BHMN sendiri.
Untuk
menyiasati kewenangan otonomi ini, beberapa PTN membuka jalur khusus bagi
mahasiswa yang secara finansial dianggapi mampu. Hal ini mengundang anggapan
negatif dari masyarakat, status BHMN
dianggap sebagai langkah komersialisasi dan privatisasi PTN. Dalam
perkembangannya dengan keuangan, belum ada pemisahan aset yang jelas antara
milik negara dengan milik perguruan tinggi. Hal ini bisa terlihat dari anggaran
sisa yang dikelola oleh PTN harus dikembalikan kepada negara, padahal
seharusnya bisa dimanfaatkan oleh yang lainnya.
Setelah itu sampailah pada titik dimana DPR
mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008, meskipun mendapat protes dari berbagai
kalangan. Dominasi isu yang muncul adalah bahwa negara dianggap melepaskan tanggung
jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun
sayangnya UU BHP ini tidak bertahan lama, Mahkamah Konstitusi meminta
pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan atau
BHP. Untuk itu pemerintah melakukan penggantian atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
17/ 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dengan PP No. 66
Tahun 2010. PP ini resmi berlaku sejak ditetapkan, yakni 28 September 2010
lalu. Dalam PP ini ada beberapa hal pokok di antaranya yakni Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) yang tercantum dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN), pengelolaan
keuangannya harus tunduk pada UU Keuangan. Keuangan BHMN masuk dalam APBN, maka
penggunaannya hanya ada dua pilihan, yakni melalui Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP), dan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PKBLU). Sebagai
informasi, dengan pengelolaan keuangan menggunakan pendekatan PNPB, universitas
harus meminta segala sesuatunya dengan anggaran yang disusun di awal meskipun
hanya untuk kegiatan kemahasiswaan yang selama ini menghidupi Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) di universitas-universitas. Bila pengelolaan keuangan PTN
mengacu pada konsep BLU (Badan Layanan Umum), maka tidak seluruh pendapatan PTN
harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh PTN bersangkutan
dengan catatan siap dan sanggup diaudit. Dengan konsep BLU, pendapatan yang
diterima dapat digunakan secara langsung. Kemudian, saldo kas akhir tidak lagi
disetor ke kas Negara dan diperlakukan sebagai saldo kas awal untuk digunakan
membiayai kegiatan di awal tahun.
Setelah dikaji, PT BHMN sepakat menggunakan yang
paling dekat dengan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Sementara, dalam
PP baru ini ada juga kewajiban bagi PTN dalam proses rekrutmen mahasiswa baru
yaitu setiap perguruan tinggi minimal harus menerima 20% mahasiswa yang
berkebatasan ekonomi, namun memiliki otak cemerlang.
Dalam persiapannya menerapkan PK-BLU, 7 Perguruan
Tinggi Eks Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), yakni UGM, UI, ITB, IPB, USU,
UPI, Univ Airlangga berdiskusi dalam workshop ‘Persiapan menuju Pengelolaan
Badan Layanan Umum UGM’ di ruang auditorium BRI FEB UGM, Kamis (17/11). Dalam
diskusi yang dipandu oleh Direktur Keuangan UGM Drs. Haryono, M.Com, Ak.,
pembicara dari perwakilan dari PPK-BLU Kemenetrian Keuangan, Catur Ariyanto Widodo,
SE., mengatakan perguruan tinggi BLU dalam pengelolaannnya tidak diperkenankan
mengutamakan mencari keuntungan karena bukan sebagai korporasi.
Kini dalam perkembangannya menerapkan , berdasarkan
data yang dilansir BPK, saat ini jumlah BLU Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang
berada di bawah Kemdiknas baru sebanyak 20 PTN. Sementara 62 PTN lainnya masih
non-BLU. Berdasarkan pemeriksaan laporan keuangan Kemdiknas tahun 2010, BPK
menemukan beberapa hal terkait dengan pungutan pada BLU. Diantaranya, PNBP
Kementerian Lembaga (KL) yang tidak disetorkan ke kas negara, tidak dilaporkan
dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan
Pembelanjaan Negara (APBN) sebesar lebih dari Rp 25 miliar.
"Berdasarkan pasal 14 dan 15 dalam PP No. 23 tahun 2005, BLU diperbolehkan memperoleh pendapatan dari jasa
layanan kepada masyarakat. Seperti diberitakan media, sekitar Rp 7,9 triliun
atau 30 persen biaya operasional perguruan tinggi ditanggung oleh masyarakat,
seharusnya pendapatan itu dilaporkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP)," ujar Anggota VI
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Rizal Djalilkepada para
wartawan, Rabu (13/7/2011) siang, di Kantor BPK, Jakarta. Dengan demikian BPK ingin mengingatkan, uang yang
berasal dari masyarakat itu seharusnya disetorkan sebagai PNBP karena hal
tersebut sejatinya amanah dari rakyat untuk digunakan secara tepat guna dan
transparan.
Di tengah carut marutnya pengelolaan keuangan
tempat kita menuntut ilmu (PT), harapan ke depan adalah agar para wali amanah
mahasiswa (rektor dan jajarannya) dalam melaksanakan persiapan PK-BLU dapat
melakukannya sebaik mungkin agar amanat Undang-undang yang mengamanatkan
kecerdasan bangsa tidak ternodai dengan motif pemakmuran pribadi, serta tidak
mengurangi atau mengambil hak rakyat miskin untuk menuntut ilmu setinggi
langit.
Sumber:
Sejarah
UPT-BHP USU
http://stmikbpn.ac.id/web/2011/03/28/jumlah-mahasiswa-di-indonesia-masih-sekitar-48-juta-orang/
http://
kopertis.go.id
Portal
Akademik UGM
Kompas/ Suhartono | I Made
Asdhiana | Kamis, 26 Agustus 2010
Kompas/Indra
Akuntono | Inggried | Rabu, 13 Juli 2011 | 16:54 WIB
Media
Indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar