Oleh: Fanny Gunawan
Niccolò Machiavelli seorang pakar teori politik Itali yang mencoba mengeksiskan dirinya ke panggung politik melalui surat-surat
yang di tuliskannya kepada penguasa di zaman nya yakni; nicolo de medici (seorang
penguasa Florence) hingga akhirnya menjadi bumerang di kemudian hari. Karya hebatnya yang masih terkenang
sepanjang masa ialah buku The
Prince (Sang Penguasa) yang ditulis Machiavelli tahun 1513, menyatakan bahwa semua pemimpin harus
menggunakan penipuan dan akal licik, untuk mencapai tujuan mereka (Trijaji,
5, 2008).
Konon
dalam sejarah dunia, ada begitu
banyak penguasa yang mengikuti teori kepemimpinan Machiavelli. Seperti Napoleon, Stalin, Hitler,
Benito Mussolini, Slobodan Milosevic, Pinochet, hingga Pol Pot merupakan
tokoh-tokoh yang mengambil langkah radikal dalam kepemimpinannya dalam bertahan pada tampuk kekuasaannya. Mussolini
memuji-muji Machievalli di depan umum sebagai tokoh inspirator dan
memilih subjek thesis untuk memperoleh gelar doktornya, hingga Napoleon sendiri menyimpan
buku “The Prince” di bawah bantalnya
agar dapat
membacanya berulang-ulang (Ibid, 3, 2008).
Teori kepemimpinan yang diusung oleh Machievelli itu
merupakan salah satu model kepemimpinan yang banyak digunakan oleh para
pemimpin diktator. Bagi penentang teori ini, Machiavelli dianggap sebagai
simbol kediktatoran dan kekejaman. Teori kepemimpinan Machievelli cenderung
menghalalkan segala cara untuk mempertahankan suatu kekuasaan.
Dengan lain perkataan, seorang pemimpin harus tahu kapan ia harus berperan sebagai singa (Lion), dan bertindak seperti musang (Fox). Perubahan karakter seorang
pemimpin itu harus mengikuti keadaan yang juga seorang pemimpin harus memberikan kesan di depan
rakyat bahwa ia seorang yang lembut, pemurah, bahkan pro agama. Namun ia pun
dapat berbuat jahat dan mengabaikan rasa sayang dan moral jika diperlukan. Ia juga membenarkan sistem
pemerintahan yang dijalankan penguasa bertangan besi, yang menolak pertimbangan
moral dalam hal politik praktis. Oleh karena itu, tak heran jika para Machiavellis, terutama para penguasa
yang menjalankan prinsip Machiavelli ini dianggap sebagai individu dan kumpulan
manusia yang membenarkan dusta, penipuan, penindasan, dan pembunuhan, termasuk
pengingkaran sejarah asal stabiliti kekuasaannya mantap dan tidak tergugat.
Machiavelli mengajukan dua pilihan perbincangan,
apakah seorang penguasa itu lebih baik dicintai atau dibenci atau ditakuti. Menurutnya penguasa
sebaiknya ditakuti dan dicintai, tapi kedua pilihan ini ini tak boleh disandang
sekaligus, lebih mudah bagi seorang penguasa adalah ditakuti, kerana bila dia
memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan
demi rakyat yang mencintainya.
Soeharto sendiri
merupakan presiden kedua Republik Indonesia yang memegang tampuk kekuasaan
tahun 1968 setelah Partai komunis Indonesia gagal melakukan kudeta di
Indonesia.
Bagi rakyat Indonesia
sendiri sosok Soeharto merupakan tokoh dan pemimpin yang di cintai sekaligus di
benci rakyat nya sebagaimana pemikiran Machiavelli, namun apakah soeharto pernah mempelajari
Filsafat yang di bangun Machiavelli atau kepemimpinan nya hasil insting seorang anak petani ??!
Jawaban
pasti nya penulis sendiri tidak dapat menyakini, namun tindak tanduk beliau
semasa kepemimpinannya dapat kita lihat dan sebagaimana yang telah Machiavelli jelaskan.
Pada awal kepemimpinannya
setelah kegagalan PKI untuk kedua kalinya merebut kekuasaan, Soeharto
membubarkan PKI dan menurunkan harga-harga barang yang membubung tinggi sebagai
upaya menarik dukungan rakyat dan meraih simpati dari para mahasiswa, dimana
ketika itu perekonomian Indonesia benar-benar di ambang kehancuran dengan angka
inflasi yang meroket, harga-harga barang kebutuhan pokok menjadi mahal dan sulit
dijangkau. Disini lah Soeharto sangat menjaga stabilitas harga barang dan bahan
bakar minyak stabil dengan harga jual di bawah standar internasional, berbagai
subsidi pun dikucurkan meski hasil hutang dan bantuan internasional.
Bagaimana rakyat tidak mencintai
soeharto ketika sandang, pangan dan papan tercukupi dan masyarakat terus di
konstruksi sebagai kambing yang tidak dapat memilih nasibnya, karena meski
semuanya terpenuhi tapi ruh kebebasaan dalam masyarakat hampir tidak di temukan
dalam keadaan yang serba terkendali, terkontrol dan terpimpin di era kejayaan
soeharto.
Terparah era 1980-an. Ketika
itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah
"petrus", penembak misterius di tahun 1983 tercatat 532 orang tewas,
367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan dan tahun 1984 ada 107 orang
tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang
tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat
ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan
korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di
depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para
korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3783696
diakses tanggal 08/01/2012).
Petrus dapat dikatakan
sebagai suatu usaha gaungan soeharto dalam shock
therapy (terapi goncangan) menstabilkan masyarakat dan citra dirinya,
karena sedikit kebebasaan di tengah masyarakat akan membuat sadar dan dapat berbalik
ke arah merusak kepemimpinann nya, maka dengan strategi petrus ini penulis
anggap relevan dalam menjaga stabilitas kepemimpinan soeharto dengan
menciptakan rasa takut di tengah masyarakat atau mahasiswa yang menentang akan
berfikir dua kali.
Kembali kepada pemikiran
awal marchiavelli dimana menurutnya
penguasa sebaiknya ditakuti dan dicintai, tapi kedua pilihan ini ini tak boleh
disandang sekaligus, lebih mudah bagi seorang penguasa adalah ditakuti agar lebih mudah menggerakan massa, karena bila
memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan kepentingan
demi rakyat yang mencintainya.
Lanjut era 1990 an
masyarakat telah semakin sadar dan lebih dewasa menilai kepemimpinan soeharto,
kejatuhan seoharto bukan karena ketidak becusan-nya dalam memimpin negeri ini
akan tetapi penulis lebih melihat campur tangan asing dan faktor ekonomi yang
terlepas dari kendali pemerintahan soeharto. Runtuh nya perang dingin di era
tersebut telah membuat Amerika serikat secara langsung menjadi pemimpin
negara-negara, yang bagi Amerika sendiri kepentingan nasionalnya merupakan hal
yang sangat utama dan harus di jaga sebisa mungkin, dan ketika kepemimpinan
soeharto telah dianggap tidak sepaham dengan Amerika atau bertentangan dengan
Amerika tidak salah apabila agen-agen CIA (Central
Intelligence Agency) bergerak setelah sebelumnya negara Fhilipina.
Kembali ke awal kepemimpinan
Soeharto dan kejatuhan nya terdapat indikasi permainan Amerika serikat di
belakangnya bersama IMF (International
Monetary Fund). Namun lebih dalam penulis tidak akan membahas peran Amerika
serikat dari kejatuhan Soeharto 21 Mei 1998. Penulis menilai tampuk kekuasaan
yang dijalankan selama 32 tahun telah sukses soeharto lakukan guna memperkaya
diri, keluarga dan kronco-kronco nya. Hanya warisan korupsi, kolusi, nepotisme
dan hutang negara yang soeharto tinggalkan. Sangat-sangat menyedihkan.
Namun kembali kepada hakikat
kepemimpinan sejati sendiri ?! dari segi mana anda melihat dan tujuan yang
ingin anda capai di dalam nya. Penulis menyadari sekecil apapun itu kebaikan
pasti hasilnya akan baik, dan sekecil apapun itu kejahatan, hasilnya pasti
jahat. Pesan yang harus kita renungkan kembali “janganlah menjadi jahat, atau
mencampur-campur kejahatan dan kebaikan. Jadilah kebaikan itu sendiri
sebaik-baiknya diri yang bermanfaat bagi sesama, masyarakat dan negara”
Kekayaan khazanah
Daftar Pustaka
Machiavelli, Niccolo “The Prince
The Famous Analysis of Statemanship and power” Mentor Book 1957 alih bahasa
oleh Trijaji, Natalie “Sang Penguasa” Selasar surabaya 2008.
Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3783696.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar