Senin, 09 April 2012

Biaya Sekolah Melangit, Orangtua Menjerit

Oleh: Bakhrudin Latief*

Periode April hingga Juli merupakan masa-masa yang mencemaskan bagi para siswa. Apa pasal? Pada rentang waktu ini, sekolah mulai menyelenggarakan ujian –baik ujian sekolah maupun ujian nasional- serta penerimaan siswa baru. Setelah stres saat menghadapi ujian, berikutnya siswa dibuat bingung untuk memilih akan bersekolah dimana. Tentunya mayoritas ingin melanjutkan di sekolah negeri sekaligus favorit. Sederet “ujian” dan “persaingan” telah menanti, yang membuat para calon siswa harap-harap cemas khawatir tidak diterima di sekolah pilihannya. Namun dibalik itu semua, ternyata ada sosok yang lebih kebingungan saat berhadapan dengan momen peerimaan siswa baru. Merekalah para orangtua siswa. Ya, karena sesungguhnya mereka-lah yang akan menanggung beban berat memikirkan biaya masuk sekolah anak-anaknya, yang –kini- semakin melangit.
Kita semua mafhum bahwa sekolah hari ini mahal. Kampanye pemerintah akan pendidikan gratis sebagai amanat Pasal 31 UUD 1945 belum sepenuhnya terealisasi. Ironisnya, yang kita saksikan dewasa ini Pemerintah seolah ingin melimpahkan urusan pendidikan pada pihak lain. Ini terbukti dengan adanya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). RUU ini diharapkan menjadi jalan keluar bagi keterlibatan pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah MBS﴿. Komite Sekolah, sebagai aktor MBS, tak ubahnya seperti stempel yang siap men-sahkan setiap kebijakan Kepala Sekolah, termasuk menarik pungutan kepada para calon siswa.
Pungutan sudah dilakukan sejak awal masuk sekolah. Mulai dari penarikan Dana Sumbangan Pendidikan DSP﴿, praktik jual beli kursi, juga biaya lain seperti pembelian seragam, alat tulis, sepatu, dan buku pelajaran yang kesemuanya itu harganya lebih mahal dibanding harga pasaran. Iuran yang tidak seharusnya ada itu diputuskan tanpa persetujuan orangtua. Alhasil, tidak ada negosiasi terkait besaran dana yang harus disumbangkan, sehingga orangtua hanya bisa menelan bulat-bulat putusan tersebut. Selain itu, transparansi peruntukkan DSP pun tidak jelas. Maka tak jarang kita lihat sekolah yang “merusak” sebagian ruangan kelasnya agar dapat berdalih akan mengalokasikan dana DSP untuk renovasi.
Berdasarkan data, diperoleh rata-rata besaran pungutan antara lain di tingkat SD Rp.350.000-Rp.500.000, SMP Rp.750.000-Rp.1 juta, dan SMA Rp 2,5 juta-Rp.5 juta PR, 11 Juli 2011﴿. Belum habis sampai disitu. Setelah sang anak diterima di sekolah, mereka harus melewati Masa Orientasi Siswa (MOS). Untuk keperluan MOS, orangtua harus merogoh koceknya tak kurang dari Rp. 200.000-Rp. 300.000. Angka yang cukup besar, terutama bagi kelompok yang kurang mampu.
Tingginya tarif sekolah seakan menegaskan bahwa pemerintah telah meliberalisasi sekolah publik menjadi sekolah mahal dan elitis. Pendidikan nasional seperti mengekalkan kelas sosial. Si miskin jangan harap duduk di bangku sekolah favorit. Sedangkan si kaya, boleh sekolah dimana saja, karena punya banyak duit.
Jika orangtua masih dibebani biaya sekolah yang tinggi, bukan tidak mungin kemiskinan struktural akan terus terjadi. Siswa dari keluarga miskin, -karena tak sanggup bersekolah tinggi- terpaksa akan meneruskan “warisan” kemiskinan dari orangtuanya. Hakikat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan taraf hidup manusia, rasanya masih hanya sebatas wacana.
Pemerintah hendaknya menindak tegas sekolah-sekolah yang masih memberlakukan pungutan-pungutan. Pemerintah juga harus menambah anggaran pendidikan atau menjamin anggaran yang ada sampai di tangan yang tepat. Pelbagai pungutan di sekolah disinyalir menjadi cikal bakal penyakit korupsi. Siswa yang telah lulus sekolah pada gilirannya nanti akan melakukan “pembalasan” di tempat ia bekerja. Tentunya hal ini tidak kita harapkan. Sekolah sebagai sarana pendidikan karakter harusnya menanamkan nilai-nilai kejujuran, agar nantinya dihasilkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggungjawab.

*Penulis ialah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung / PKPS 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar