Oleh: Bakhrudin Latief*
Periode April hingga Juli merupakan masa-masa yang
mencemaskan bagi para siswa. Apa pasal? Pada rentang waktu ini, sekolah mulai
menyelenggarakan ujian –baik ujian sekolah maupun ujian nasional- serta penerimaan
siswa baru. Setelah stres saat menghadapi ujian, berikutnya siswa dibuat bingung
untuk memilih akan bersekolah dimana. Tentunya mayoritas ingin melanjutkan di
sekolah negeri sekaligus favorit. Sederet “ujian” dan “persaingan” telah
menanti, yang membuat para calon siswa harap-harap cemas khawatir tidak
diterima di sekolah pilihannya. Namun dibalik itu semua, ternyata ada sosok
yang lebih kebingungan saat berhadapan dengan momen peerimaan siswa baru.
Merekalah para orangtua siswa. Ya, karena sesungguhnya mereka-lah yang akan menanggung
beban berat memikirkan biaya masuk sekolah anak-anaknya, yang –kini- semakin
melangit.
Kita semua mafhum bahwa sekolah hari ini mahal. Kampanye
pemerintah akan pendidikan gratis sebagai amanat Pasal 31 UUD 1945 belum
sepenuhnya terealisasi. Ironisnya, yang kita saksikan dewasa ini Pemerintah
seolah ingin melimpahkan urusan pendidikan pada pihak lain. Ini terbukti dengan
adanya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). RUU ini diharapkan menjadi jalan
keluar bagi keterlibatan pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan diterapkannya Manajemen Berbasis
Sekolah ﴾MBS﴿. Komite Sekolah, sebagai aktor MBS, tak ubahnya seperti stempel yang siap
men-sahkan setiap kebijakan Kepala Sekolah, termasuk menarik pungutan kepada
para calon siswa.
Pungutan sudah dilakukan sejak awal masuk sekolah. Mulai
dari penarikan Dana Sumbangan Pendidikan ﴾DSP﴿, praktik jual beli kursi, juga
biaya lain seperti pembelian seragam, alat tulis, sepatu, dan buku pelajaran
yang kesemuanya itu harganya lebih mahal dibanding harga pasaran. Iuran yang
tidak seharusnya ada itu diputuskan tanpa persetujuan orangtua. Alhasil, tidak
ada negosiasi terkait besaran dana yang harus disumbangkan, sehingga orangtua
hanya bisa menelan bulat-bulat putusan tersebut. Selain itu, transparansi
peruntukkan DSP pun tidak jelas. Maka tak jarang kita lihat sekolah yang
“merusak” sebagian ruangan kelasnya agar dapat berdalih akan mengalokasikan
dana DSP untuk renovasi.
Berdasarkan data, diperoleh rata-rata besaran pungutan
antara lain di tingkat SD Rp.350.000-Rp.500.000, SMP Rp.750.000-Rp.1 juta, dan
SMA Rp 2,5 juta-Rp.5 juta ﴾PR, 11 Juli 2011﴿. Belum habis sampai disitu.
Setelah sang anak diterima di sekolah, mereka harus melewati Masa Orientasi
Siswa (MOS). Untuk keperluan MOS, orangtua harus merogoh koceknya tak kurang
dari Rp. 200.000-Rp. 300.000. Angka yang cukup besar, terutama bagi kelompok
yang kurang mampu.
Tingginya tarif sekolah seakan menegaskan bahwa
pemerintah telah meliberalisasi sekolah publik menjadi sekolah mahal dan
elitis. Pendidikan nasional seperti mengekalkan kelas sosial. Si miskin jangan
harap duduk di bangku sekolah favorit. Sedangkan si kaya, boleh sekolah dimana
saja, karena punya banyak duit.
Jika orangtua masih dibebani biaya sekolah yang tinggi, bukan
tidak mungin kemiskinan struktural akan terus terjadi. Siswa dari keluarga
miskin, -karena tak sanggup bersekolah tinggi- terpaksa akan meneruskan “warisan”
kemiskinan dari orangtuanya. Hakikat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan meningkatkan taraf hidup manusia, rasanya masih hanya sebatas
wacana.
Pemerintah hendaknya menindak tegas sekolah-sekolah yang
masih memberlakukan pungutan-pungutan. Pemerintah juga harus menambah anggaran
pendidikan atau menjamin anggaran yang ada sampai di tangan yang tepat. Pelbagai
pungutan di sekolah disinyalir menjadi cikal bakal penyakit korupsi. Siswa yang
telah lulus sekolah pada gilirannya nanti akan melakukan “pembalasan” di tempat
ia bekerja. Tentunya hal ini tidak kita harapkan. Sekolah sebagai sarana
pendidikan karakter harusnya menanamkan nilai-nilai kejujuran, agar nantinya
dihasilkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggungjawab.
*Penulis ialah Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung / PKPS 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar